Rabu, 21 Desember 2011

Manajemen Luka Bakar


 Manajemen Luka Bakar ( Combustio )

a. Pengertian
Suatu penyakit yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam Elizabeth J.Corwin, 2009 )



Fase Luka Bakar
Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya dibedakan dalam 3 fase akut, subakut dan fase lanjut. Namun demikian pembagian fase menjadi tiga tersebuttidaklah berarti terdapat garis pembatas yang tegas diantara ketiga fase ini. Dengan demikian kerangka berpikir dalam penanganan penderita tidak dibatasi oleh kotak fase dan tetap harus terintegrasi. Langkah penatalaksanaan fase sebelumnya akan berimplikasi klinis pada fase selanjutnya.
1.      Fase akut / fase syok / fase awal.
Fase ini mulai dari saat kejadian sampai penderita mendapat perawatan di IRD / Unit luka bakar. Pada fase ini penderita luka bakar, seperti penderita trauma lainnya, akan mengalami ancaman dan gangguan airway (jalan napas), breathing (mekanisme bernafas) dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma , inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase ini dapat terjadi juga gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termal/panas yang berdampak sistemik. Adanya syok yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang masih berhubungan akibat problem instabilitas sirkulasi. Permasalahan dan penanganan pada fase ini akan menjadi bahasan utama dalam makalah ini.



2. Fase Subakut
Fase ini berlangsung setelah fase syok berakhir atau dapat teratasi. Luka yang terjadi dapat menyebabkan beberapa masalah yaitu :
a. Proses inflamasi atau infeksi.
b. Problem penutupan luka
c. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase Lanjut
Fase ini penderita sudah dinyatakan sembuh tetapi tetap dipantau melalui rawat jalan. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan timbulnya kontraktur.

d. Derajat Kedalaman
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Dahulu Dupuytren membagi atas 6 tingkat, sekarang lebih praktis hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu sebagai berikut:
1.      Luka bakar derajat I :
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperficial), kulit hipermik berupa eritem, tidak dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.



2.  Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
Dibedakan atas 2 (dua) bagian :
a). Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak. Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk cicatrik.
b). Derajat II dalam / deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan epitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung – ujung sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
e. Luas Luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian – bagian 9 % atau kelipatan dari 9 terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace. Yaitu :
·         Kepala dan leher : 9 %
·         Lengan : 18 %
·         Badan Depan : 18 %
·         Badan Belakang : 18 %
·         Tungkai : 36 %
·         Genitalia/perineum : 1 %
·         Total : 100 %
 Penatalaksanaan Luka Bakar
Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada penderita trauma - trauma lainnya harus ditangani secara teliti dan sistematik.
1. Evaluasi Pertama (Triage)
a). Airway, sirkulasi, ventilasi ( Teknik ABC )
Prioritas pertama penderita luka bakar yang harus dipertahankan meliputi airway, ventilasi dan perfusi sistemik. Kalau diperlukan segera lakukan intubasi endotrakeal, pemasangan infuse untuk mempertahankan volume sirkulasi
b}. Pemeriksaan fisik keseluruhan.
Pada pemeriksaan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma abdomen dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung / spine.
c). Anamnesis
Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta ditanyakan penyakit – penyakit yang pernah di alami sebelumnya



d}. Pemeriksaan luka bakar
Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang atau ringan.
1.              Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya
2.Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)

2. Penanganan di Ruang Emergency
Diwajibkan memakai sarung tagan steril bila melakukan pemeriksaan penderita.
Bebaskan pakaian yang terbakar.
    1. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan adnya trauma lain yang menyertai.
    2. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas dapat dipasang endotracheal tube. Traheostomy hanya bila ada indikasi.
    3. Pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak dianjurkan pemasangan scalp vein. Diberikan cairan ringer Laktat dengan jumlah 30-50 cc/jam untuk dewasa dan 20-30 cc/jam untuk anak – anak di atas 2 tahun dan 1 cc/kg/jam untuk anak dibawah 2 tahun.
    4. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk monitor jumlah urine produksi. Dicatat jumlah urine/jam.
    5. Di lakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric dekompresi dengan intermitten pengisapan.
    6. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena dan jangan secara intramuskuler.
    7. Timbang berat badan
    8. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid booster bila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.
    9. Pencucian Luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Luka dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine (SSD) sampai tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada hari ke 5 kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Salvon 1 : 30
    10. Eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang jaringan yang mati (eskar)dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis demi lapis jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah.
    11. Fasiotomi dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar, agar bagian distal tidak nekrose karena stewing.
    12. Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara persisten terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative superficial.Untuk luka bakar yang dalam pilihan yang tersering yaitu split tickness skin grafting. Split tickness skin grafting merupakan tindakan definitive penutup luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka tersebut tidak sembuh - sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter > 3 cm.
3. Penanganan Sirkulasi.
Pada luka bakarberat / mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interfisial mengakibatkan terjadinya hipovolemic intra vaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik tergangu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi / sel / jaringan / organ. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami deficit, timbul ketidakmampuan menyelenggaraan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok dengan metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat, menunjukkna perbaikkan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostic terhadap angka mortalitas. Resusitasi cairan tersebut yaitu :




a) Menurut BAXTER formula
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka + kebutuhan faali.
Kebutuhan faali :
Umur < 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc
3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua :
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali

b} Menurut Evans à  Cairan yang dibutuhkan :
1. RL / NaCl = luas combustio ……% X BB/ Kg X 1 cc
2. Plasma = luas combustio ……% X BB / Kg X 1 cc
3. Pengganti yang hilang karena penguapan D5 2000 cc
Hari I à 8 jam X ½
è 16 jam X ½
Hari II à ½ hari I

4. Penanganan Pernapasan
Trauma inhalasi merupakan foktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka kematian. Kematian akibat trauma inhalasi terjasi dalam waktu singkat 8 sampai 24 jam pertama pasca operasi. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas, asap atau uap panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan napas karena edema laring. Trauma panas langsung adalah terhirup sesuatu yang sangat panas, produk produk yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti bahan jelaga dan bahan khusus yang menyebabkan kerusakan dari mukosa lansung pada percabangan trakheobronkhial.
Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi yang diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hydrogen sianida, nitrogen oksida, hydrogen klorida, akreolin dan partikel – partikel tersuspensi. Efek akut dari bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalan napas akan menjadi lebih hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edem.
Efek intoksikasi karbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan. Karbon monoksida (CO) memiliki afinitas yang cukup kuat terhadap pengikatan hemoglobin dengan kemampuan 210 – 240 kali lebih kuat disbanding kemampuan O2. Jadi CO akan memisahkan O2 dari Hb sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan. Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar mengalami hal sebagai berikut.

1. Riwayat terjebak dalam ruangan tertutup.
2. Sputum tercampur arang.
3. Luka bakar perioral, termasuk hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran termasuk confusion.
5. Terdapat tanda distress napas, seperti rasa tercekik. Tersedak, malas bernafas atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan, menandakan adanya iritasi mukosa.
6. Adanya takipnea atau kelainan pada auskultasi seperti krepitasi atau ronhi.
7. Adanya sesak napas atau hilangnya suara.
Apabila ada 3 tanda / gejala diatas sudah cukup dicurigai adanya trauma inhalasi. Penanganan penderita trauma inhalasi bila tanpa distress pernapasan maka harus dilakukan trakheostomi. Penderita dirawat diruang resusitasi instalasi gawat darurat sampai kondisi stabil.
5. Monitoring penderita luka bakar
Monitoring penderita luka bakar harus diikuti secara cermat. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, penderita palpasi, perkusi dan auskultasi adalah prosedur yang harus dilakukan pada perawatan penderita. Pemeriksaan laboratoris untuk monitoring juga dilakukan untuk mengikuti perkembanagn keadaan penderita. Monitoring penderita kita dibagi dalam 3 situasi yaitu pada saat di triage, selama resusitasi (0 - 72 jam pertama) dan pos resustasi.



I. Triage – Intalasi Gawat Darurat
A. A-B-C : Pada waktu penderita datang ke Rumah sakit, harus dinilai dan dilakukan segera diatasi adakah problem airway, breathing, sirkulasi yang segera diatasi life saving. Penderitaluka bakar dapat pula mengalami trauma toraks atau mengalami pneumotoraks.
B. VITAL SIGN : Monitoring dan pencatatan tekanan darah, repsirasi, nadi, rectal temperature. Monitoring jantung terutama pada penderita karena trauma listrik, dapat terjadi aritmia ataupun sampai terjadi cardiac arrest.
C. URINE OUTPUT : Bilamana urine tidak bisa diukur maka dapat dilakukan pemasangan foley kateter. Urine produksi dapat diukur dan dicatat tiap jam. Observasi urine diperiksa warna urine terutama pada penderita luka bakar derajat III atau akibat trauma listrik, myoglobin, hemoglobin terdapat dalam urine menunjukkna adanya kerusakaan yang hebat.
6. Monitoring dalam fase resusitasi (sampai 72 jam)
1. Mengukur urine produksi. Urine produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat / tidak. Pada orang dewasa jumlah urine 30-50 cc urine/jam.
2. Berat jenis urine. Pascatrauma luka bakar jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat menunjukkna keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urine.
3. Vital Sign
4. pH darah.
5. Perfusi perifer
6. laboratorium
a. serum elektrolit
b. plasma albumin
c. hematokrit, hemoglobin
d. urine sodium
e. elektrolit
f. liver function test
g. renal function tes
h. total protein / albumin
i. pemeriksaan lain sesuai indikasi
7. Penilaian keadaan paru Pemeriksaan kondisi paru perlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya secret, wheezing, atau dispnae merupakan adannya impending obstruksi. Pemeriksaan toraks foto ini. Pemeriksaan arterial blood gas.
8. Penilaian gastrointestinal. Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bising usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan pH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing Ulcer.
9. Penilaian luka bakarnya. Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.

Daftar Pustaka

M Sjaifudin Noer, 2006. Penanganan Luka Bakar. Jakarta : Airlangga University Press.
David S. Perdanakusuma, , 2006. Penanganan Luka bakar. Jakarta : Airlangga University Press.
R Sjamsuhidajat, Wim De Jong, 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC
Rumah Sakit Dr. Sutomo, . 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/ Ilmu Bedah, Surabaya.

Askep Perdarahan Post Partum


February 2007 - The National Pressure Ulcer Advisory Panel has redefined the definition of a pressure ulcer and the stages of pressure ulcers, including the original 4 stages and adding 2 stages on deep tissue injury and unstageable pressure ulcers. This work is the culmination of over 5 years of work beginning with the identification of deep tissue injury in 2001.

The staging system was defined by Shea in 1975 and provides a name to the amount of anatomical tissue loss. The original definitions were confusing to many clinicians and lead to inaccurate staging of ulcers associated or due to perineal dermatitis and those due to deep tissue injury.

The proposed definitions were refined by the NPUAP with input from an on-line evaluation of their face validity, accuracy clarity, succinctness, utility, and discrimination. This process was completed online and provided input to the Panel for continued work. The proposed final definitions were reviewed by a consensus conference and their comments were used to create the final definitions. "NPUAP is pleased to have completed this important task and look forward to the inclusion of these definitions into practice, education and research", said Joyce Black, NPUAP President and Chairperson of the Staging Task Force.

Pressure Ulcer Definition
A pressure ulcer is localized injury to the skin and/or underlying tissue usually over a bony prominence, as a result of pressure, or pressure in combination with shear and/or friction. A number of contributing or confounding factors are also associated with pressure ulcers; the significance of these factors is yet to be elucidated.

Pressure Ulcer Stages

Suspected Deep Tissue Injury:
Purple or maroon localized area of discolored intact skin or blood-filled blister due to damage of underlying soft tissue from pressure and/or shear. The area may be preceded by tissue that is painful, firm, mushy, boggy, warmer or cooler as compared to adjacent tissue.

Further description:
Deep tissue injury may be difficult to detect in individuals with dark skin tones. Evolution may include a thin blister over a dark wound bed. The wound may further evolve and become covered by thin eschar. Evolution may be rapid exposing additional layers of tissue even with optimal treatment.

Stage I:
Intact skin with non-blanchable redness of a localized area usually over a bony prominence. Darkly pigmented skin may not have visible blanching; its color may differ from the surrounding area.

Further description:
The area may be painful, firm, soft, warmer or cooler as compared to adjacent tissue. Stage I may be difficult to detect in individuals with dark skin tones. May indicate "at risk" persons (a heralding sign of risk)

Stage II:
Partial thickness loss of dermis presenting as a shallow open ulcer with a red pink wound bed, without slough. May also present as an intact or open/ruptured serum-filled blister.

Further description:
Presents as a shiny or dry shallow ulcer without slough or bruising.* This stage should not be used to describe skin tears, tape burns, perineal dermatitis, maceration or excoriation.
*Bruising indicates suspected deep tissue injury

Stage III:
Full thickness tissue loss. Subcutaneous fat may be visible but bone, tendon or muscle are not exposed. Slough may be present but does not obscure the depth of tissue loss. May include undermining and tunneling.

Further description:
The depth of a stage III pressure ulcer varies by anatomical location. The bridge of the nose, ear, occiput and malleolus do not have subcutaneous tissue and stage III ulcers can be shallow. In contrast, areas of significant adiposity can develop extremely deep stage III pressure ulcers. Bone/tendon is not visible or directly palpable.

Stage IV:
Full thickness tissue loss with exposed bone, tendon or muscle. Slough or eschar may be present on some parts of the wound bed. Often include undermining and tunneling.

Further description:
The depth of a stage IV pressure ulcer varies by anatomical location. The bridge of the nose, ear, occiput and malleolus do not have subcutaneous tissue and these ulcers can be shallow. Stage IV ulcers can extend into muscle and/or supporting structures (e.g., fascia, tendon or joint capsule) making osteomyelitis possible. Exposed bone/tendon is visible or directly palpable.

Unstageable:
Full thickness tissue loss in which the base of the ulcer is covered by slough (yellow, tan, gray, green or brown) and/or eschar (tan, brown or black) in the wound bed.

Further description:
Until enough slough and/or eschar is removed to expose the base of the wound, the true depth, and therefore stage, cannot be determined. Stable (dry, adherent, intact without erythema or fluctuance) eschar on the heels serves as "the body's natural (biological) cover" and should not be removed.


For more information, contact npuap.org or 202-521-6789

Copyright: NPUAP 2007