Senin, 02 Mei 2011

manajemen konflik


A.    Latar belakang
Setiap kelompok dalam satu organisasi, dimana didalamnya terjadi interaksi antara satu dengan lainnya, memiliki kecenderungan timbulnya konflik. Dalam institusi layanan kesehatan terjadi kelompok interaksi, baik antara kelompok staf dengan staf, staf dengan pasen, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter, maupun dengan lainnya yang mana situasi tersebut seringkali dapat memicu terjadinya konflik. Konflik sangat erat kaitannya dengan perasaan manusia, termasuk perasaan diabaikan, disepelekan, tidak dihargai, ditinggalkan, dan juga perasaan jengkel karena kelebihan beban kerja.
Perasaan-perasaan tersebut sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya kemarahan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan kegiatannya secara langsung, dan dapat menurunkan produktivitas kerja organisasi secara tidak langsung dengan melakukan banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dalam suatu organisasi, kecenderungan terjadinya konflik, dapat disebabkan oleh suatu perubahan secara tiba-tiba, antara lain: kemajuan teknologi baru, persaingan ketat, perbedaan kebudayaan dan sistem nilai, serta berbagai macam kepribadian individu









BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pengertian
Arquis dan Huston (1998) dalam Nursalam (2002) mendefinisikan konflik sebagai masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat, nilai-nilai, atau keyakinan dari dua orang atau lebih.
Littlefield (1995) dalam Nursalam (2002) mengatakan bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau proses. Sebagai kejadian, konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antaradua orang atau organisasi dimana seseorang tersebut dapt menerima sesuatu yang dapat mengancam kepentingannya, sebagai proses, konflik dimanifestasikan sebagai suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok dimana setiap orang atau kelompok berusaha menghalangi atau mencegah atau kepuasan dari seseorang.
Sumber-sumber konflik diorganisasi dapat ditemukan pada kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana, perilaku kompetisi dan personality dan peran yang membingungkan.
Konflik menurut Robbins adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif atau akan segera memengaruhi secara negatif pihak lain. Sedangkan Alabeness dalam Nimran mengartikan konflik sebagai kondisi yang dipersepsikan ada di antara pihak-pihak atau lebih merasakan adanya ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang untuk mencampuri usaha pencapaian tujuan pihak lain. Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa konflik itu adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Jadi jika sesuatu keadaan tidak dirasakan sebagai konflik maka pada dasarnya konflik itu tidak ada.
B.     Faktor Penyebab Konflik
1.      Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

C.    Kategori konflik
Konflik dapat dibedakan menjadi 3 jenis (1) intrapersonal; (2) interpersonal; (3) Antarkelompok.
1.      Intrapersonal
Konflik yang terjadi pada individu sendiri. Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklarifikasi nilai dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya, manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan dan loyalitas terhadap pasien.
2.      Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih dimana nilai, tujuan dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan. Manajer sering mengalami konflik dengan teman sesama manajer, atasan atau bawahannya.

3.      Antar kelompok (intergroup)
Konflik terjadi antara dua atau lebih dari kelompok orang, departemen atau organisasi. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.
Marquis & Huston (1998) dalam Nursalam (2002) mengatakan Konflik yang terjadi pada suatu organisasi merefleksikan konflik intrapersonal, interpersonal dan antar kelompok. Tetapi di dalam organisasi konflik dipandang sebagai konflik secara vertikal dan horizontal. Konflik vertikal terjadi antara atasan dan bawahan. Konflik horisontal terjadi antara staf dengan posisi dan kedudukan yang sama. Misalnya konflik horisontal ini meliputi wewenang, keahlian dan praktik.

D.    Proses konflik
Menurut Louis R. Pondy terdapat lima proses konflik, yaitu dimulai dari:
1.      Tahap I, Laten Conflict (konflik laten)
Laten Konflict yaitu tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini seperti: Saling ketergantung kerja (interdependence) terjadi bila dua atau lebih kelompok organisasi tergantung satu dengan yang lainnya untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Potensi konflik pada keadaan ini sangat tinggi. Saling ketergantungan dikelompokan dalam: (1) saling ketergantungan yang dikelompokan, tidak memerlukan adanya interaksi diantara kelompok sebab setiap kelompok, bertindak secara terpisah. Potensi konflik pada bentuk saling ketergantungan yang dikelompokan relatif rendah, dan manajemen dapat mengandalkan pada peraturan dan prosedur standar yang dikembangkan dikantor pusat untuk koordinasi. (2) Saling ketergantungan berurutan, memerlukan satu kelompok sebelum kelompok lain menyelesaikan tugasnya. (3) saling ketergantungan timbal balik, yaitu memerlukan hasil dari tiap kelompok untuk dijadikan masukan bagi kelompok lain dalam organisasi.
2.      Tahap II, Perceived Conflict (konflik yang dipersepsikan)
Pada tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain sebagai penghambat atau mengacam pencapaian tujuannya.
3.      Tahap III, Felt Conflict (konflik yang dirasakan)
Pada tahap ini konflik tidak sekedar dipandang ada, akan tetapi benar-benar sudah dirasakan.
4.      Tahap IV, Manifest Conflict (konflik yang dimanifestasikan)
Pada tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai ditunjukan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi, rendahnya kinerja,dll.
5.      Tahap V, Conflict Aftermath
Jika konflik benar-benar diselesaikan maka hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya jika penyelesaian tidak tepat maka akan dapat menimbulkan konflik baru.

E.     Penyelesaian konflik
1.      Langkah-langkah
Vestal (1994) dalam Nursalam (2002) menyelesaikan suatu konflik meliputi: pengkajian, identifikasi dan intervensi
a.       Pengkajian
1)      Analisa situasi
Identifikasi jenis konflik untuk menentukan waktu yang diperlukan. Setelah fakta dan memfalidasi semua perkiraan melalui pengkajian lebih mendalam. Kemudian siapa yang terlibat dan peran masing-masing. Tentukan jika situasinya dapat dirubah.

2)      Analisa dan mematikan isu yang berkembang
Jelaskan masalah dan perioritas fenomena yang terjadi. Tentukan masalah utama yang memerlukan suatu penyelesaian dimulai dari masalah tersebut.
3)      Menyusun tujuan
Jelaskan tujuan spsifik yang akan diicapai.
b.      Identifikasi
4)      Mengelola perasaan
Hindari suatu respon emosional: marah, dimana setiap orang mempunyai yangb berbeda terhadap kata-kata, ekspresi dan tindakan.
c.       Intervensi
5)      Masuk pada konflik yang diyakini dapat diselesaikan dengan baik. Identifikasi hasil yang positif yang akan terjadi.
6)      Menyelesaikan metode dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik memerlukan stratetegi yang berbeda-beda. Seleksi metode yang paling sesuai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
2.      Strategi Penyelesaian Konflik
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :
a.       Kompromi atau Negosiasi
Suatu strategi penyelesaian konflik dimana semua yang terlibat saling menyadari dan sepakat tentang keinginan bersama. Penyelesaian strategi ini sering diartikan sebagai ”lose-lose situation” kedua unsur yang terlibat menyerah dan menyepakati hal yang telah dibuat. Didalam manajemen keperawatan strategi ini sering digunakan oleh midle  dan Top manajer keperawatan.


b.      Kompetisi
Strategi ini dapat diartikan sebagai “win-lose” penyelesaian konflik. Penyelesaian ini menekan hanya ada satu orang atau kelompok yang menang tanpa mempertimbangkan yang kalah. Akibat negatif strategi ini adalah kemarahan, putus asa dan keinginan untuk perbaikan di masa mendatang.
c.       Akomodasi
Istilah yang lain sering digunakan adalah “cooperation”. Konflik ini berlawanan dengan kompetisi. Pada strategi ini seseorang berusaha mengakomodasi permasalahan-permasalahan dan memberi kesempatan orang lain unutk menang. Masalah pada strategi sebenarnya tidak terselesaikan. Strategi ini biasanya sering digunakan dalam suatu politik untuk merebut sesuatu kekuasaan dengan berharap konsekuensinya.
d.      Smoothing
Penyelesaian konflik dengan mengurangi komponen emosional dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan daripada perbedaan dengan penuih kesadaran dan introspeksi diri. Strategi ini bisa ditetapkan pada konflik yang ringan, tetapi untuk konflik yang besar misalnya persaingan pelayanan/ hasil produksi dan tidak dapat digunakan.
e.       Menghindar
Semua yang terlibat dalam konflik, pada strategi ini menyadari tentang masalah yang dihadapi tetapi memilih untuk menghadiri atau tidak menyelesaikan masalahnya. Strategi ini biasanya dipilih bila ketidaksepakatan adalah membahayakan kedua pihak, biaya penyelesaian lebih besar daripada menghindar, atau maslah perlu orang ketiga dalam menyelesaikannya atau jika masalah dapat terselesaikan dengan sendirinya.


f.       Kolaborasi
Strategi ini merupakan strategi “win-win solution”. Pada kolaborasi, kedua unsur yang terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan. Karenanya keduanya meyakini akan tercapainya suatu tujuan yang telah ditetapkan masing-masing meyakininya. Strategi kolaborasi tidaka akan bisa berjalan bila kompetisi intensif sebagai bagian dari situasi tersebut, kelompok yang terlibat tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan tidak adanya kepercayaan dari kedua kelompok atau seseorang (bowditch &buono, 1994 dalam Nursalam, 2002).

F.     Interaksi Konflik
Berpikir Menang-Menang merupakan sikap hidup, suatu kerangka berpikir yang menyatakan : “Saya dapat menang, dan demikian juga Anda, kita bisa menang”. Berpikir Menang-Menang merupakan dasar untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang dimulai dengan kepercayaan bahwa kita adalah setara, tidak ada yang di bawah ataupun di atas orang lain. Hidup bukanlah kompetisi. Mungkin kita memang menjumpai bahwa dunia bisnis, sekolah, keluarga, olah raga adalah dunia yang penuh kompetisi, tetapi sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan dunia kompetisi. Hidup sebenarnya adalah relasi dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang bukanlah berpikir tentang Menang-Kalah, Kalah-Menang, atau pun Kalah –Kalah.
1.      Win-Lose (Menang – Kalah).
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang, anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk:
Menggunakan orang lain , baik secara emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri. Mencoba untuk berada di atas orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri sendiri nampak baik.
Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Iri dan dengki ketika orang lain berhasil.
2.      Lose-Win (Kalah – Menang).
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan. Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3.      Lose-Lose (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang, lebih baik semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh diri.
4.      Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
5.      Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi. Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama kreatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar