Minggu, 17 April 2011

askep ibu hamil dengan tbc


Anatomi dan fisiologi

System pernafasan terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, sampai dengan alveoli  dan paru-paru. (lihat gambar anatomi saluran pernafasan dibawah ini)
Hidung merupakan saluran pernafasan yang pertama, mempunyai dua lubang/cavum nasi. Didalam terdapat bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu dan kotoran yang masuk dalam lubang hidung. Hidung dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa.
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan, faring terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. faring dibagi atas tiga bagian yaitu sebelah atas yang sejajar dengan koana yaitu nasofaring, bagian tengah dengan istimus fausium disebut orofaring, dan dibagian bawah sekali dinamakan laringofaring.
Trakea merupakan cincin tulang rawan yang tidak lengkap (16-20cincin), panjang 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. trakea dipisahkan oleh karina menjadi dua bronkus yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea yang membentuk bronkus utama kanan dan kiri, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri cabang bronkus yang lebih kecil disebut bronkiolus yang pada ujung-ujungnya terdapat gelembung paru atau gelembung alveoli.
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung. Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru-paru kanan tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Paru-paru terletak pada rongga dada yang diantaranya menghadap ke tengah rongga dada / kavum  mediastinum. Paru-paru mendapatkan darah dari arteri bronkialis yang kaya akan darah dibandingkan dengan darah arteri pulmonalis yang berasal dari atrium kiri. Besar daya muat udara oleh paru-paru ialah 4500 ml sampai 5000 ml udara. Hanya sebagian kecil udara ini, kira-kira 1/10 nya atau 500 ml adalah udara pasang surut. sedangkan kapasitas paru-paru adalah volume udara yang dapat di capai masuk dan keluar paru-paru yang dalam keadaan normal kedua paru-paru dapat menampung sebanyak kuranglebih 5 liter.
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbondioksida sisa oksidasi keluar tubuh (ekspirasi) yang terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru .proses pernafasan tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu:
1.
      Ventilasi  pulmoner.
Ventilasi merupakan proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan pasif yang mana otot-otot interkosta interna berkontraksi dan mendorong dinding dada sedikit ke arah luar,  akibatnya diafragma turun dan otot diafragma berkontraksi.
Pada ekspirasi diafragma dan otot-otot interkosta eksterna relaksasi dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali,  maka udara terdorong keluar.                          
2.
      Difusi Gas.
Difusi Gas adalah bergeraknya gas CO2 dan CO3  atau partikel lain dari area yang bertekanan tinggi kearah yang bertekanann rendah. Difusi  gas melalui membran pernafasan  yang dipengaruhi oleh factor ketebalan membran, luas permukaan membran, komposisi membran, koefisien difusi O2 dan CO2 serta perbedaan tekanan gas O2 dan CO2.
Dalam Difusi gas ini pernfasan yang  berperan penting yaitu alveoli dan darah.
3.
      Transportasi Gas
Transportasi gas adalah perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 kedalam sel darah yang bergabung dengan hemoglobin yang kemudian membentuk oksihemoglobin sebanyak 97% dan sisa 3% yang ditransportasikan ke dalam cairan plasma dan sel.

IV.         Patofisiologi

Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernafasan, saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara (airbone) yang cara penularannya dengan droplet yang mengandung  kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya.
Penularan tuberculosis paru terjadi karena penderita TBC membuang ludah dan dahaknya sembarangan dengan cara dibatukkan atau dibersinkan keluar.
Dalam dahak dan ludah ada basil TBC-nya, sehingga basil ini mengering lalu diterbangkan angin kemana-mana. Kuman terbawa angin dan jatuh ketanah maupun lantai rumah yang kemudian terhirup oleh manusia melalui paru-paru dan bersarang serta berkembangbiak di paru-paru.
Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag. Pada alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit, proses tersebut membutuhkan waktu 10-20 hari. Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon dan bergabungnya serangan Kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Beberapa respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak lepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Batuk darah (hemaptoe) adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif  yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas.

VI.         Penegakan Diagnosa

1.      Anamnesis
Keluhan-keluhan seseorang penderita TB sangat bervariasi, mulai dari sama sekali tidak ada keluhan sampai dengan adanya keluhan-keluhan yang serba lengkap. Pada umumnya, keluhan-keluhan ini dapat di bagi menjadi :
·        Keluhan umum
Malaise, anorexia, mengurus, cepat lelah.
·        Keluhan karena infeksi kronik
Panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan keringat malam (agar lebih tepat lebih baik deisebut berkeringat pada waktu subuh, pada jam-jam 02.30 – 05.00, yaitu saat orang sehat tak akan berkeringat). Khusus tentang keluhan keringat malam, walaupun di semua textbook hal ini disebut, untuk Indonesia perlu diperhatikan bahwa keluhan ini baru ada nilai diagnostik, bila pada saat yang sama orang normal pada lingkungan yang sama tidak mengalaminya. Dengan lain perkataan, kalau penderita tinggal di rumah/kamar yang sempit dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat, apalagi kalau ada beberapa orang lain yang tidur di kamar tersebut, pastilah setiap malam semua penghuni kamar itu akan berkeringat. Sebaliknya, kalau penderita tinggal di rumah/kamar dengan ventilasi cukup, apalagi kalau kamar itu dilengkapi AC, tetapi tetap saja berkeringat malam hari, barulah keluhan ini mempunyai nilai diagnostik yang berarti.
·        Keluhan karena ada proses patologik di paru dan/atau pleura
Batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada.
Keluhan-keluhan ini dapat berdiri sendiri ataupun didapatkan bersama-sama. Makin banyak keluhan-keluhan ini didapatkan, makin besar kemungkinan TB.
Departemen Kesehatan dalam pemberantasan TB di Indonesia menentukan anamnesis ‘resmi’ lima keluhan utama, yaitu batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada. Mengingat bahwa TB adalah penyakit menahun, keluhan-keluhan ini akan sudah dirasakan selama beberapa waktu dengan kecendrungan progresif walau agak lambat. Secara khusus, barangkali ada baiknya meninjau sedikit dalam keluhan-keluhan yang berasal dari paru-paru yang sakit.
Batuk-batuk
pada TB dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi biasanya tak lama kemudian sudah menjadi produktif. Batuk adalah refleks paru untuk mengeluarkan sekret-sekret dan produk-produk proses destruksi paru. Berhubung saat ini begitu banyak obat-obat batuk bebas dengan dextro-metorphan HBr atau derivat codein, mungkin keluhan-keluhan ini tak begitu ditonjolkan penderita, apalagi kalau penderita tersebut merokok, sehingga batuknya dianggap sebagai batuk biasa para perokok. (Khususnya, kalau proses TB hanya menyerang mukosa bronkus saja secara terbatas, y.i. endobronkitis TB, tak jarang batuknya tetap batuk kering saja).
Berbeda sekali dengan batuk darah. Sejak dahulu batuk darah dianggap identik dengan penyakit paru yang memaksa penderita datang ke dokter/mantri/dukun untuk berobat. Darah yang dibatukkan keluar sangat bervariasi, dapat berupa coretan merah (‘bloodstreep/bloodstreak’) pada sputum atau dapat pula profus sampai bergelas-gelas sehingga dapat berakibat fatal karena shock ataupun karena aspirasi dan asfiksi.
Sesak
pada penderita TB disebabkan oleh kurangnya jaringan paru yang berfungsi dengan baik (bisa karena destruksi, bisa juga karena atelektasis). Dengan lain perkataan, sesak ini disebabkan oleh gangguan restriksi, sementara lumen bronkeolus tetap terbuka normal. Dengan demikian, tak akan terdengar ‘wheezing’ (yang lazim ditemukan pada penderita asthma dan bronkitis kronis).
Walaupun keluhan-keluhan ini bersifat progresif, lajunya perlahan-lahan dan dapat mencapai bertahun-tahun. Hal ini berbeda sekali dengan karsinoma paru, yang dalam beberapa minggu saja sudah akan tampak kemunduran yang nyata dan progresif.
2.      Pemeriksaan Fisik
Di sini juga tidak satu pun gejala yang patognomonis untuk TB. Variabilitas gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit ini sangat besar. Bahkan tidak jarang pada stadium permulaan belum dapat ditemukan hal-hal yang patologis sementara gambaran radiologis dan pemeriksaan sputum sudah menunjukkan adanya penyakit TB.
Pada orang dewasa, biasanya penyakit ini dimulai di daerah paru atas, kanan atau kiri, yang disebut ‘fruh infiltrat’. Pada auskultasi, hanya akan ditemukan ronki basah halus sebagai satu-satunya kelainan pemeriksaan jasmani. Bila proses infiltratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan fremitus yang menguat, dengan redup pada perkusi, suara nafas bronkeal, serta bronkopi yang menguat.
Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan gejala-gejala kavitas, berupa timpani pada perkusi yang disertai suara napas amforis. Sebaliknya bila terjadi atelektasis, misalnya pada ‘destroyed lung’, suara napas setempat akan melemah sampai hilang sama sekali.
Ronki basah pada umumnya selalu akan didapatkan, mengingat bahwa selalu pula akan terbentuk sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret itu berada, makin kasarlah ronki yang didengar.
Melihat ini semua, makin nyatalah bahwa kelainan-kelainan yang dapat ditemukan pada TB sangat variabel, baik jenis, intensitas, jumlah, maupun tempat ditemukannya (pleiomorfi).
3.      Tes Tuberkulin
Sebetulnya tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV), yang dianggap dapat mencerminkan potensi sistem imunitas selular seseorang, khususnya terhadap basil TB. Pada seseorang yang belum terinfeksi basil TB, tentunya sistem imunitas selulernya belum terangsang untuk melawan basil TB. Dengan demikian tes tuberkulin akan negatif. Sebaliknya bila seseorang pernah terinfeksi basil TB, dalam keadaan normal sistem ini sudah akan terangsang secara efektif 3-8 minggu setelah infeksi primer dan tes tuberkulin akan positif (yaitu bila didapatkan diameter indurasi 10-14 mm pada hari ketiga atau keempat dengan dosis PPD 5 TU intrakutan).
Kalau seseorang penderita sedang menderita TB aktif, tes tuberkulinnya dapat kelewat positif (artinya diameter indurasi yang ditimbulkannya dapat melebihi 14 mm). Tetapi kalau proses TB-nya hiperaktif, misalnya TB miliaris, seolah-olah seluruh kemampuan potensi imunitas seluler sudah terkuras habis dan tes akan menjadi negatif.
Selama TB masih endemik di Indonesia, yakni infeksi pada umumnya sudah akan terjadi pada usia yang masih muda sekali, tes tuberkulin sebagai tes diagnostik menjadi kurang berarti. Vaksinasi BCG secara masal juga akan lebih menghilangkan arti tes tuberkulin sebagai sarana diagnostik. Mengingat juga ada begitu banyak faktor bukan TB yang dapat mempengaruhi hasil tes tuberkulin, khususnya di negara-negara seperti Indonesia, tes ini makin kehilangan arti sebagai tes diagnostik.
Faktor-faktor ini adalah penyimpanan bahan tes yang tak memenuhi syarat; gizi yang rendah dengan semua etiologinya, seperti misalnya cacingan, memang kekurangan gizi, dan lain-lain; pemakaian kortikosteroid yang lama; baru sembuh dari penyakit infeksi berat, seperti morbili, dan sebagainya; AIDS; dan lain-lain.
Semuanya dapat memberikan hasil negatif palsu.
4.
      Pemeriksaan Serologik
 Tes ini disebut TBPAP (uji Peroksidase-Anti Peroksidase untuk TB paru). Berbeda dengan tes tuberkulin, yang dinilai adalah sistem imunitas humoral (SIH), khususnya kemampuan untuk memproduksi suatu antibodi dari kelas IgG terhadap sebuah antigen dalam basil TB.
Tentunya bila seorang belum pernah terinfeksi basil TB, SIH-nya belum diaktifkan. Dengan demikian, tes ini akan negatif. Sebaliknya bila sudah pernah terinfeksi, SIH-nya sudah akan membentuk IgG tertentu tadi sehingga hasil tes akan menjadi positif. Handoyo (1998) mengemukakan bahwa sensitivitas tes ini adalah 98% dan spesifitasnya 94%, namun sampai sekarang di luar negeri tes ini tetap dianggap sebagai pemeriksaan pelengkap belaka, a.l. karena tak dapat menunjukkan penyebabnya di satu pihak dan di pihak lain sensitivitas dan spesifisitasnya dianggap belum baku (ada yang mengatakan hanya 85%.
5.      Foto Rontgen Paru
Pertama-tama perlu dikemukakan bahwa fluoroskopi saat ini sudah harus ditinggalkan karena tidak objektif dan selalu tersirat faktor terburu-buru (mengingat bahaya sinar-X).
Di samping itu, pemeriksaan ini juga tidak akan meninggalkan dokumen otentik.
Pada stadium permulaan, seperti telah diungkapkan di depan, TB mungkin akan lolos pada pemeriksaan jasmani, tetapi pada pemeriksaan foto paru semua ‘fruh infiltrat’ pasti akan diketahui. Disinilah letaknya kepentingan pemeriksaan foto paru untuk diagnosis dini TB.
Dalam rangka diagnosis diferensial, foto paru dapat memegang peranan yang sangat penting, karena berdasarkan letak, bentuk, luas dan konsistensi kelainan, dapat diduga adanya lesi TB. Juga hanya foto paru yang dapat menggambarkan secara objektif kelainan anatomik paru dan luasnya kelainan. Pemeriksaan ini juga meninggalkan dokumen otentik, yang sangat menentukan untuk evaluasi penyembuhan.
Bagaimanapun besar manfaat pemeriksaan foto paru dalam diagnostik TB, selalu harus diingat adanya faktor-faktor yang membatasi makna diagnostiknya, sebagai berikut :
·        The human factor’, yaitu adanya variasi individual dokter yang menginterpretasikannya.
·        Adanya organ-organ lain dalam rongga dada, sehingga 20-25% paru akan terlindung oleh organ lain dan tak akan tampak pada foto PA biasa.
·        Gambaran penyakit TB yang begitu pleiomorfik, sehingga diagnosis diferensialnya meliputi puluhan penyakit paru lain.
·        Adanya kasus-kasus TB dengan sputum BTA positif tetapi dengan foto paru yang normal atau dengan gambaran penyakit paru lain yang bukan TB.
Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat dijumpai pada foto paru seorang penderita TB akan bervariasi mulai dari suatu bintik kapur, garis fibrotik, bercak infiltrat, penarikan trakea atau mediastinum ke sisi yang sakit, kavitas, sampai ke gambaran atau atelektasis. Kelainan-kelainan ini dapat berdiri sendiri, tetapi dapat pula ditemukan bersama-sama. ‘Destroyed lung’ merupakan contoh khas dalam hal ini. Pada keadaan ini, ditemukan sekaligus atelektasis, kavitas, dan fibrosis dengan penarikan-penarikan mediastinum ke sisi yang sakit (DOUMA, 1980). Yang diartikan dengan ‘vanishing lung’ ialah adanya suatu kavitas teramat besar dalam suatu paru sehingga boleh dikatakan seluruh paru tersebut telah berubah menjadi suatu kavitas.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dan pleiomorfi ini, bilamana dihadapkan pada keraguan-keraguan, hendaknya kita secepatnya melaksanakan pemeriksaan tambahan, misalnya foto dari samping, toplordotik, sampai CT scan, bronkoskopi, serta ulangan foto setelah beberapa saat.
6.
      Pemeriksaan Sputum (sekret bronkus, bahan aspirasi cairan pleura, dsb.)
Tentang pemeriksaan mutakhir dengan Polymerase Chain Reaction, pada kesempatan ini tidak akan dikupas karena mengingat sangat mahalnya dalam waktu dekat akan mustahil dikerjakan di Indonesia. Teknik pemeriksaan sputum sekarang ini bermacam-macam, tetapi pada dasarnya hanya berkisar pada pemeriksaan mikroskopis, pembenihan, dan tes resistensi. Selain sputum, spesimen lain yang harus diperiksa ialah sekret bronkus yang dikeluarkan dengan bronkoskop, bahan aspirasi cairan pleura, dan getah lambung (sebelum makan pagi).
Dengan demikian pada hakekatnya ada kemungkinan sebagai berikut :
·        Mikroskopik akan menghasilkan BTA (Basil Tahan Asam) (+) atau (-)
·        Perbenihan akan menunjukkan hasil hasil (+) atau (-)
Walaupun secara teoritis, BTA (+) masih mungkin bukan Mycobacterium TB, melainkan dapat juga Mycobacterium atipik, karena kemungkinan ini sangat kecil, dalam prakteknya dapat diabaikan, sehingga BTA (+) dapat dianggap sebagai Mycobacterium TB (+).
Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan sputum adalah hasil pembenihan yang positif, artinya yang tumbuh ialah basil TB yang sesungguhnya. Namun sayang sekali pembenihan ini tidak dapat dikerjakan di semua laboratorium di Indonesia. Di samping itu, pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan waktu 3 minggu.
Oleh karena itu, diambil praktisnya, sekali sputum BTA (+) sudah dianggap cukup untuk menentukan dianosis TB dan sudah dapat dibenarkan pemberian pengobatan spesifik dalam rangka penyembuhan penderita yang bersangkutan.


VII.       Kompilasi Hasil dan Interpretasi Akhir

Dari semua hasil yang telah disebutkan akan timbul kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
·        Klinis (anamnesis dan pemeriksaan jasmani) (+) ataupun (-)
·        Foto rontgen paru (+) ataupun (-)
·        Sputum BTA (+) ataupun (-)
Bila hanya klinis saja yang (+), maksimum hanya dapat dikatakan sebagai tersangka (suspec) TB saja, sehingga secara teoritis belum dibenarkan terapi spesifik. Tentunya, dalam hal ini, dokter yang menanganilah yang berkewajiban menanggulangi/menyempurnakan pemeriksaan diagnostik semaksimal mungkin, di samping memikirkan kemungkinan-kemungkinan non-TB lainnya.
Dengan demikian, diagnosis tepat dan terapi yang semestinya tidak terkatung-katung. Tetapi bila fasilitas pemeriksaan foto rontgen paru dan laboratorium tidak tersedia, hendaknya dokter tetap berani menegakkan diagnosis TB hanya berdasarkan temuan-temuan klinis saja.
Bila hanya klinis (+) dan foto (+), walaupun sputum telah diperiksa 3 kali tetapi selalu BTA (-), masih dapat dibenarkan penentuan diagnosis TB dan dibenarkan pemberian terapi spesifik (WHO, 1991). Kasus ini dianggap sebagai kasus yang belum menular.
Apabila hanya foto saja yang (+), dalam bidang pemberantasan TB, penderita yang bersangkutan tak lebih dari seorang tersangka saja. Sputum harus diperiksa berulang kali, sehingga begitu didapatkan (+), dapat segera disembuhkan dengan tuntas. Dalam pelayanan kesehatan perorangan, hendaknya diagnosis TB benar-benar diperkirakan kembali, sambil menyingkirkan begitu banyak penyakit yang serupa TB pada foto paru. Dengan lain perkataan, hendaknya diagnosis yang cepat diupayakan agar secepatnya dapat ditegakkan.
Sebaliknya bila sputum (+), tanpa memperhatikan keadaan klinis ataupun foto paru, penderita yang bersangkutan harus diobati secepatnya sebagai penderita TB. Perlu diketahui di sini bahwa mungkin saja foto paru (-) walaupun sputum jelas-jelas (+). Kemungkinan suatu endobronchitis TB (lesi TB yang terbatas pada mukosa bronkus) perlu dipikirkan. Di samping itu bila dipakai teknik lain, pemeriksaan foto rontgen paru mungkin akan tampak kelainan, misalnya dengan foto toplordotik (untuk dapat melihat puncak paru lebih jelas) ataupun foto lateral kiri depan (untuk melihat daerah paru yang tersembunyi di belakang jantung).

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu : Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (H. Lismidar, 1990).
A.     Pengkajian
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan, pengkajian terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan diagnosa keperawatan (Lismidar, 1990).
1)
     Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan-urutan kegiatan yang dilakukan yaitu :
·          Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain (Hendrawan Nodesul, 1996)
·          Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di rasakan saat ini.
Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
·          Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit-penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
·          Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.
·          Riwayat psikososial
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain (Hendrawan Nodesul, 1996).
·          Pola fungsi kesehatan
a).      Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak-desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek (Hendrawan Nodesul, 1996)
b).      Pola nutrisi dan metabolik
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun (Marilyn. E. Doenges, 1999).
c).
      Pola eliminasi
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi maupun defekasi
d).      Pola aktivitas dan latihan
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas (Marilyn. E. Doegoes, 1999).
e).
      Pola tidur dan istirahat
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat (Marilyn. E. Doenges, 1999).
f).
        Pola hubungan dan peran
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular (Marilyn. E. Doenges, 1999).
g).
      Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
h).      Pola persepsi dan konsep diri
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya (Marilyn. E. Doenges, 1999).
i).
        Pola reproduksi dan seksual
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
j).         Pola penanggulangan stress
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan (Hendrawan Nodesul, 1996).
k).      Pola tata nilai dan kepercayaan
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya aktifitas ibadah klien.
2)     Pemeriksaan fisik
Berdasarkan sistem-sistem tubuh :
a).
   Sistem integumen
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun.
b).   Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
·        Inspeksi : Adanya tanda-tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah (Purnawan Junadi dkk, 1982).
·        Palpasi : Fremitus suara meningkat (Alsogaff, 1995).
·        Perkusi: Suara ketok redup. (Soeparman, 1998).
·        Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring (Purnawan. J. dkk, 1982. Soeparman, 1998).
c).
    Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan.
d).   Sistem kordiovaskuler
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras (Soeparman, 1998).
e).   Sistem gastrointestinal
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun (Soeparman, 1998).
f).      Sistem muskuloskeletal
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan sehari-hari yang kurang meyenangkan (Alsogaff, 1995)
g).   Sistem neurologis
Kesadaran penderita yaitu komposmentis dengan GCS : 456
h).    Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia
3)     Pemeriksaan penunjang
a).
  Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya terdapat di apeks dan segmen posterior lobus atas paru-paru atau pada segmen superior lobus bawah (Soeparman. 1998).
b).
  Pemeriksaan laboratorium
·        Darah
Adanya kurang darah, ada sel-sel darah putih yang meningkatkan serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses aktif (Alsogaff, 1995).
·        Sputum
Ditemukan adanya Basil Tahan Asam (BTA) pada sputum yang terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang biasanya diambil pada pagi hari (Soeparman dkk, 1998. Barbara. T. Long, 1996)
·        Test Tuberkulosis
Test tuberkulosis memberikan bukti apakah orang yang dites telah mengalami infeksi atau belum. Tes menggunakan dua jenis bahan yang diberikan yaitu : Old tuberkulosis (OT) dan Purifled Protein Derivative (PPD) yang diberikan dengan sebuah jarum pendek (1/2 inci) no 24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1 yang mempunyai  kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis atau 5 tuberkulosis unit (5 TU).
Reaksi dianggap bermakna jika diameter 10 mm atau lebih reaksi antara 5 – 9 mm dianggap meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan diketahui selama 48 – 72 jam tuberkulosis disuntikkan (Soeparman, 1998. Barbara. T. Long, 1996).
B.    Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada, nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur, gangguan harga diri.
C.    Diagnosa Keperawatan
Tahap akhir dari perkajian adalah  merumuskan Diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah kesehatan  klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan (Lismidar, 1990).
Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan tuberkulosis paru komplikasi haemaptoe sebagai berikut :
1).   Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges, 1999).
2).   Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan keletihan, anorerksia atau dispnea (Marilyn. E. Doenges, 1999).
3).   Potensial terhadap transmisi infeksi yang sehubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko potongan (Marilyn E. Doenges, 1999).
4).
   Kurang pengetahuan yang sehubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.
5).   Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk (Marilyn. E. Doenges, 1999).
6).
   Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar – kapiler (Marilyn. E. Doenges, 1999).
7).
   Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas dan nyeri dada (Lynda, J. Carpenito, 1998).
D.
    Intervensi
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan diagnosa keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam tahap perencanaan ini dengan melihat diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan sebagai berikut :
1)
     Diagnosa keperawatan pertama : Ketidakefektifan pola pernapasan yang sehubungan dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
·        Tujuan : Pola nafas efektif
·        Kriteria hasil :
-            Klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
-
            Frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16-20 kali/menit)
-            Dispneu berkurang
·        Rencana tindakan dan rasional
a).    Kaji kualitas dan  kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori pernapasan : catat setiap perubahan
Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret
b).    Kaji kualitas sputum : warna, bau, knsistensi
Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan pengobatan selanjutnya
c).
     Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
Mengetahui sendiri mungkin perubahan pada bunyi napas
d).    Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler tinggi
Membantu mengembangkan secara maksimal
e).    Bantu dan ajarkan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam sampai 4 jam
Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret keluar
f).
       Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat-obatan
Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial
2)
     Diagnosa keperawatan kedua : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan anoreksia, keletihan atau dispnea.
·        Tujuan : terjadi peningkatan nafsu makan, berat badan yang stabil dan bebas tanda malnutrisi
·        Kriteria hasil
-          Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
-
          Berat  badan stabil dalam batas yang normal
·        Rencana tindakan dan rasional
a).   Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas mukosa oral, riwayat mual/muntah atau diare
Berguna dalam mendefenisikan derajat/luasnya masalah dan          pilihan indervensi yang tepat
b).
   Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
Membantu dalam mengidentifukasi kebutuhan/kekuatan khusus. Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masakan diet
c).
    Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik
Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi dan dukungan cairan
d).   Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah
e).
   Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat
Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu/ legaster
f).
      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi diet
Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet

3)     Diagnosa keperawatan ketiga : Potensial terhadap tranmisi infeksi yang sehubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang resiko patogen.
·        Tujuan : klien mengalami penurunan potensi untuk menularkan penyakit seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien untuk mengubah tes kulit positif.
·        Kriteria hasil : klien mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien.
·        Rencana tindakan dan rasional
a).
   Identifikasi orang lain yang berisiko. Contoh anggota rumah, sahabat
Orang yang terpajan ini perlu program terapi obat intuk mencegah penyebaran infeksi
b).   Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah serta tehnik mencuci tangan yang tepat
Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi
c).    Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi pernafasan
Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular
d).   Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan berulang tuberkulasis
Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien untuk mengubah pola hidup dan menghindari insiden eksaserbasi
e).   Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat
Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan
f).      Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen Kesehatan lokal
Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat dihubungi untuk menurunkan penyebaran infeksi
4)
     Diagnosa keperawatan keempat : Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kuranganya impormasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
·        Tujuan : klien mengetahui pengetahuan imformasi tentang penyakitnya     
·        Kriteria hasil : klien memperlihatkan peningkatan tingkah pengetahuan mengenai perawatan diri.
·        Rencana tindakan dan rasional
a)
     Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah, kelemahan, lingkungan, media yang terbaik bagi klien
Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu
b)     Identifikasi gejala yang harus dilaporkan keperawatan, contoh hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas
Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut
c)
      Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan lama,kaji potensial interaksi dengan obat lain
Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi klien
d)
     Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan masalah
Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi dan meningkatkan kerjasama dalam program
e)
     Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut atau masalah, jawab pertanyaan secara nyata
Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi / peningkatan ansietas
f)
        Berikan intruksi dan imformasi tertulis khusus pada klien untuk rujukan contoh jadwal obat
Informasi tertulis menurunkan hambatan klien untuk mengingat sejumlah besar informasi.
Pengulangan penguatkan belajar
g)     Evaluasi kerja pada pengecoran logam/tambang gunung, semburan pasir
Terpajan pada debu silikon berlebihan dapat  meningkatkan resiko silikosis, yang dapat secara nagatif mempengaruhi fungsi pernafasan
5)
     Diagnosa keperawatan kelima : Ketidakefektifan jalan nafas yang sehubungan dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk.
·        Tujuan : jalan nafas efektif
·        Kriteria hasil :
-          Klien dapat mengeluarkan sekret tanpa bantuan
-          Klien dapat mempertahankan jalan nafas
-          Pernafasan klien normal (16 – 20 kali per menit)
·        Rencana tindakan :
a)     Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kedalaman penggunaan otot aksesori
Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronki, mengi menunjukkan akumulasi sekret atau ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja penafasan
b)
     Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif
Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum berdarah kental diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka brongkial dan dapat memerlukan evaluasi lanjut
c)
      Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk batuk dan latihan untuk nafas dalam
Posisi membatu memaksimalkan ekspansi paru dan men urunkan upaya pernapasan. Ventilasi maksimal meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan napas bebas untuk dilakukan
d)
     Bersihkan sekret dari mulut dan trakea
Mencegah obstruksi/aspirasi penghisapan dapat diperlukan bila klien tak mampu mengeluaran sekret
e)
     Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari, kecuali ada kontraindikasi
Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengecerkan sekret membuatnya mudah dilakukan
f)        Lembabkan udara respirasi
Mencegah pengeringan mambran mukosa, membantu pengenceran sekret
g)     Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator , dan kortikosteroid
Menurunkan kekentalan dan perlengketan paru, meningkatkan ukuran kemen percabangan trakeobronkial berguna padu adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia
6)
     Diagnosa keperawatan keenam :   Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan permukaan efektif paru dan kerusakan membran alveolar – kapiler.
·        Tujuan : Pertukaran gas berlangsung normal
·        Kreteria hasil :
-
          Melaporkan tak adanya / penurunan dispnea
-          Klien menunjukan tidak ada gejala distres pernapasan
-
          Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal          
·        Rencana tindakan dan rasional
a)     Kaji dispnea, takipnea, menurunya bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan terbatasnya ekspansi dinding dada
TB paru menyebabkan efek luas dari bagian  kecil bronko pneumonia sampai inflamasidifus luas. Efek pernapasan dapat dari ringan sampai dispnea berat sampai distress pernapasan
b)
     Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sionosis perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa
Akumulasi sekret, pengaruh jalan napas dapat menganggu oksigenasi organ vital dan jarigan
c)
      Tujukkan/dorong bernapas bibir selama ekshalasi
Membuat tahanan melawan udara luar,  untuk mencegah kolaps membantu menyebabkan udara melalui paru dan menghilangkan atau menurtunkan napas pendek
d)
     Tingkatkan tirah baring/batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
Menurunkan konsumsi oksigen selama periode menurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala
e)     Awasi segi GDA / nadi oksimetri
Penurunan kandungan oksigen (PaO2) dan atau saturasi atau peningkatan PaCO2 menunjukan kebutuhan untuk intervensi / perubahan program terapi
f)
        Berikan oksigen tambahan yang sesuai
Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau menurunya permukaan alveolar paru
7)
     Diagnosa  keperawatan ketujuh : Gangguan pemenuhan tidur dan istirahat sehubungan dengan sesak napas dan nyeri dada.
·        Tujuan : Kebutuhan tidur terpenuhi
·        Kriteria hasil :
-          memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
-
          Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
-
          Tanda-tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada
·        Rencana tindakan dan rasional
a)     Kaji kebiasaan tidur penderita sebelum sakit dan saat sakit
Untuk mengetahui sejauh mana gangguan tidur penderita
b)
     Observasi efek abot-obatan yang dapat di derita klien
Gangguan psikis dapat terjadi bila dapat menggunakan kartifosteroid temasuk perubahan mood dan uisomnia
c)      Mengawasi aktivitas kebiasaan penderita
Untuk mengetahui apa penyebab gangguan tidur penderita
d)     Anjurkan klien  untuk relaksasi pada waktu akan tidur
Memudahkan klien untuk bisa tidur
e)     Ciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman
Lingkungan dan siasana yang nyaman akan mempermudah penderita untuk tidur
E.
     Implementasi
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai            kegiatan yaitu  (Budi Anna keliat, 1994) :
1.
      Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi
2.
      Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat
3.
      Keamanan fisik  dan psikologinya dilindungi
4.
      Dokumentasi intervensi dan respon  klien
F.
     Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari  proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan (diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi, dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai  suatu tindakan berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapun alternatif tersebut adalah (Budi Anna keliat, 1994) :
1.      Tujuan tercapai
2.
      Tujuan tercapai sebagian
3.
      Tujuan tidak tercapai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar